Biografi tokoh seni dan sastra sunda
Selama lebih dari 45 tahun, Hendarso setia membawakan alunan
musik calung, alat musik dari bambu, yang kemudian dipadukannya dengan dangdut
dan pop. Lagu-lagunya berlirik bahasa Sunda. Sebagian orang menyebut dia
sebagai Michael Darso Si Raja Pop Sunda, mengacu pada raja pop dunia Michael
Jackson.
Ditemui
di rumahnya di Kampung Cirateun, Lembang, Bandung Barat, Darso, panggilannya,
bercerita mengenai albumnya yang sudah sekitar 300 judul. Albumnya itu ada yang
direkam di studio, ada pula yang direkam sewaktu dia bernyanyi di panggung.
"Katanya,
semuanya (album Darso) laku. Saya tak tahu persis karena tidak terlalu peduli
hal itu," ujar Darso, yang saat itu baru pulang setelah tampil di daerah
Banjaran, Kabupaten Bandung.
Meski
usianya tak lagi muda, Darso bisa dikatakan tak pernah menolak permintaan untuk
pentas. Dia menganggap permintaan masyarakat itu sebagai rezeki yang tidak
boleh ditolak. Sampai sekarang pun dia masih laris ditanggap di berbagai daerah
di wilayah Jawa Barat, antara empat dan lima kali dalam seminggu.
Untuk
memenuhi permintaan naik panggung itu, Darso mengaku lelah secara fisik.
Tetapi, rasa lelah itu seakan hilang ketika dia melihat penonton senang dengan
aksi panggungnya yang bak "cacing kepanasan".
Rasa
puas dan senang itu pula yang membuat Darso rela tidak dibayar jika permintaan
naik panggung itu datang dari orang tak mampu. Asal jujur, ia tak menargetkan
bayaran. Ia pernah manggung di rumah seorang penjual es di Kabupaten Bandung.
"Bagi
saya, doa orang banyak itu lebih berharga ketimbang uang berlimpah. Rame tah
imah maranehna gara-gara urang datang," ujarnya.
Akan
tetapi, tak jarang kebaikan Darso disalahgunakan. Dia pernah ditipu pengundang
yang mengaku tidak mampu, tetapi belakangan diketahui ternyata anggota DPRD.
"Saya tidak marah, tetapi sangat malu kepada teman satu grup,"
ucapnya.
Pemain
bas
Kiprah
Darso dimulai pada tahun 1962 sebagai pemain bas grup Nada Karya dan Nada
Kencana. Ia sempat bergabung dengan band milik Pusat Persenjataan Kavaleri
Bandung. Namun, kariernya di dunia pop terhenti. Ia terkena imbas peristiwa
G30S/PKI.
Tahun
1968, saat suasana politik membaik, ia kembali tampil dengan rasa berbeda. Kali
ini ia bersama sang kakak, Uko Hendarso. Alat musik calung digunakan sebagai
instrumen utama. Ia menggunakan calung sebagai pengiring lagu sambil menyusuri
jalan-jalan Kota Bandung. Salah satu lagu yang diminati warga kala itu adalah
"Kiamat".
"Dulu,
tak ada yang menggunakan calung sebagai pengiring lagu. Calung hanya
didengarkan bunyinya, tanpa lagu," ujarnya.
Tampilan
musik calung Darso bersama grup Calung Uko Hendarto menarik minat pemerhati
musik S Hidayat. Dia lalu membawa Darso tampil di Radio Republik Indonesia
(RRI). Bersama grup Baskara Saba Desa, suara Darso didengar banyak orang.
"Di
RRI saya mulai rekaman yang pertama. Judulnya Volume 1 bersama grup Layung Sari
iringan Ali Wijaya. Lagunya karya Koko Koswara dan Uko Hendarto," ujarnya.
Sampai
tahun 1978, ia punya grup sendiri, Calung Darso. Di bawah bendera Asmara
Record, ia merekam suara di atas pita kaset. Saking tenarnya, Darso bisa
merekam musik calung dalam empat-lima kaset per tahun. Lirik lagunya bertema
keseharian, kritik sosial, dan tembang cinta. Beberapa yang populer
"Kembang Tanjung", "Cangkurileung", dan
"Panineungan".
Masuk
periode tahun 1990 namanya semakin berkibar setelah TVRI pun menampilkannya.
Darso lalu menyertakan instrumen baru, seperti organ, terompet, dan dangdut.
Tujuannya menyenangkan hati penonton.
Karyanya
kemudian menjadi "lagu wajib" pop Sunda. Lagu seperti "Randa
Geulis", "Maribaya", "Amparan Sajadah", dan
"Kabogoh Jauh" sering dilantunkan penyanyi masa kini.
"Saya
tak mengubah musik calung, tetapi menyesuaikan dengan keinginan masyarakat
tanpa menghilangkan unsur tradisional. Masyarakat senang, kesenian tradisi
terjaga," ucapnya.
Perhatian
pemerintah
Di
panggung, Darso tampil beda, seperti memakai setelan jas. Bila mengikuti pakem,
pagelaran calung harus menggunakan baju pangsi dan celana kampret. Namun, ia
tak peduli. Dia tak pernah mengubah penampilannya.
Ia
bahkan pernah memadupadankan baju dan celana hitam yang dilukis tokoh kartun
Mickey Mouse dengan sarung. Pada kesempatan lain, ia tampil percaya diri dengan
jas bermotif tribal dan membuka panggung sambil menunggang kuda.
Penampilan
fenomenalnya adalah saat dia muncul mirip Michael Jackson dengan rambut
gondrong, kacamata hitam, dan bertopi. Ia juga kerap menjulurkan lidah kala
menyanyi. Banyak orang berpendapat, gaya Darso itu "kampungan".
Tetapi, gaya itulah yang mengangkat namanya.
"Ah
teuing mah. Eta mah barudak nu ngomong. Urang ngarasa ngeunah we siga kitu mah
(Ah tak tahu. Itu penonton yang bilang. Saya hanya merasa nyaman dandan seperti
itu)," ujarnya.
Meski
namanya relatif populer di kalangan masyarakat Jabar, Darso tak mau berubah. Ia
ingin selalu dekat dengan masyarakat. Itu dibuktikan saat dia membantu
menjajakan buah di Pasar Baru hingga membantu penjaja jagung di kawasan
Pasteur.
Darso
tetaplah pribadi yang tak suka formalitas. Ia tak mau dikawal dan selalu
melayani permintaan foto penggemarnya. Sikap rendah hatinya itu membuat dia
juga disebut Pak Haji meski Darso belum menunaikan ibadah haji.
"Nyawa
aing siganamah tereh beak lamun difotoan wae. Tapi sakali deu urang mah resep
mun ningali nu lain senang (Nyawa saya cepat habis kalau difoto terus....
Tetapi, sekali lagi, saya ikut bahagia kalau melihat orang lain senang),"
ujarnya.
Di
balik gaya yang nyeleneh, Darso tetap menyimpan harapan. Salah satunya, ia
prihatin dengan perhatian pemerintah terhadap musik tradisional. Pemerintah
hanya bicara soal melestarikan kesenian daerah, tetapi tak banyak hal yang
dilakukan untuk mewujudkannya.
Darso
juga berharap seniman calung atau pop Sunda yang berusia muda tak berhenti
hanya meniru gayanya. Sebaiknya mereka juga bisa menemukan jati diri dan
mensyukuri apa yang telah didapatkan. Dia tetap percaya, bila kita melakukan
pekerjaan itu dengan hati, termasuk menyanyi, pasti akan menuai sukses.
"Kata
orang, suara saya bagus dan harus ditiru. Tetapi, semua ini bukan milik saya,
melainkan milik Tuhan. Kalau mau, mungkin sekarang suara ini bisa dibuat-Nya
rusak," kata Darso mengingatkan.
Posting Komentar untuk "Biografi tokoh seni dan sastra sunda"